Kognitif merupakan suatu yang berhubungan dengan proses
berpikir guna untuk mengetahui atau memahami sesuatu. Wujud dari penggunaan
fungsi kemampuan kognitif seseorang dapat dilihat dari kemampuannya dalam menggunakan
bahasa dan matematika (Wienman. 1981: 142). Perkembangan kognitif yang matang
sesuai usianya sangat membatu untuk fungsi mental seseorang yang meliputi
persepsi, pikiran, simbol, penalaran, dan pemecahan masalah.[1]
Jean Piaget yang merupakan tokoh psikologi
perkembangan berkebangsaan Swiss ini, menyatakan dalam teori kognitifnya bahwa
anak-anak secara aktif membangun pemahaman mengenai dunia dan melalui empat
tahap perkembangan kognitif.[2]
Keempat tahap perkembangan kognitif tersebut meliputi :
v Tahap sensomotori
(mulai dari lahir hingga 2 tahun). Dalam tahap ini, bayi membangun pemahaman
mengenai dunianya dengan mengkordinasikan pengalaman-pengalaman sensorisnya
(melihat, mendengar) dengan tindakan-tindakan fisik dan motorik.
v Tahap praoperasi (2
hingga 7 tahun). Anak mulai melukiskan dunianya dengan kata-kata dan gambar. Kata-kata
dan gambar ini mencerminkan meningkatnya pemikiran simbolis dan melampaui
hubungan informasi sensoris dan tindakan fisik.
v Tahap operasi konkret
(7 hingga 11 tahun). Anak saat ini dapat bernalar secara logis mengenai
peristiwa-peristiwa konkret dan mengklasifikasikan objek-objek ke dalam
bentuk-bentuk yang berbeda.
v Tahap operasi formal
(11 tahun hingga masa dewasa). Remaja bernalar secara lebih abstrak, idealis,
dan logis.
Jika seorang anak tidak memperlihatkan indikator
perkembangan kognitif Piaget sesuai dengan rentan usianya atau pun tidak mengikuti
pola perkembangan kognitif tersebut, maka ada kemungkinan anak mengalami
kesulitan dalam kemampuan perkembangan kognitifnya. Sehingga anak tersebut
tidak mampu menyelesaikan tugas-tugas kognitif yang di tuntut oleh kebanyakan
sekolah. Serta mempengaruhi proses belajarnya, dan anak akan berkesulitan
belajar.
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa keberhasilan anak
dalam menyelesaikan tugas-tugas kognitif terkait dengan gaya kognitif mereka.[3] Sehingga
akan mempengaruhi pemrosesan informasi yang mereka dapatkan terhadap suatu
lingkungan. Gaya kognitif adalah cara seseorang dalam menghadapi tugas kognitif
dan berpikir untuk menyelesaikan permasalahan (pemecahan masalah).[4]
Hallahan, Kauffman, dan Llody (1985: 84) berpadangan bahwa gaya kognitif adalah
bagaimana cara seseorang berpikir (how of
thinking), dan setiap orang memiliki gaya kognitif yang berbeda-beda dalam
menghadapi tugas-tugas pemecahan masalah.[5]
Pada kajian anak berkesulitan belajar akan ada dua
dimensi yang mempengaruhi gaya kognitif seorang anak, yaitu : (a)gaya kognitif
ketidakterikatan-keterikatan pada lingkungan (field independence-field dependence), dan (b)gaya kognitif
reflektifitas-impulsivitas (reflectivity-impulsivity)
(Hallahan, Kauffman, dan Lloyd, 1985: 84).[6]
a.
Gaya
Kognitif Ketidakterikatan-Keterikatan Pada Lingkungan
Kemampuan seseorang untuk membebaskan diri dari
pengaruh lingkungan pada saat membuat keputusan tentang tugas-tugas perseptual.
Disebut keterterikatan pada lingkungan (field
dependence) karena seseorang dalam menghadapi tugas-tugas perseptual banyak
dipengaruhi oleh lingkungan. Dan disebut ketidakterikatan pada lingkungan (field independence) karena seseorang
tidak mudah terpengaruh pada lingkungan terhadap tugas perseptualnya.
Anak berkesulitan belajar umumnya tergolong dalam
gaya kognitif keterikatan pada lingkungan. Sehingga anak tersebut mudah
terkecoh oleh informasi yang menyesatkan dan persepsinya menjadi tidak akurat.[7] Implikasi
kondisi tersebut, maka perlunya latihan bagi anak bekesulitan belajar agar
mampu memusatkan perhatian pada data perseptual yang esensial dan menghindari
diri pada pengaruh data yang mengecohkan.
b.
Gaya
Kognitif Reflektifitas-Impulsivitas
Kemapuan yang terkait dengan pemanfaatan atau
penggunaan waktu yang diperlukan anak dalam menjawab persoalan dan jumlah
kesalahan yang dibuat. Anak yang impulsif cenderung menjawab persoalan secara
cepat tetapi membuat banyak kesalahan, sedangkan anak yang reflektif cenderung
menjawab persoalan secara lebih lambat tetapi hanya membuat sedikit kesalahan.[8].
Umumnya anak berkembang dari impulsif ke reflektif, yang berarti bahwa anak
yang muda lebih impulsif dan anak yang tua cenderung lebih reflektif.
Meskipun demikian berbeda halnya dengan anak
berkesulitan belajar, mereka lebih cenderung dengan gaya kognitif yang impulsif,
walaupun usianya mungkin lebih tua.[9] Karena
gaya kognitif impulsif tersebut anak berkesulitan belajar memiliki problema
bukan hanya dalam bidang akademik tetapi juga pada perilakunya. Implikasi dari
kondisi tersebut maka perlunya latihan, khususnya bagi anak berkesulitan
belajar dengan gaya kognitif impulsif agar mereka memperoleh latihan merespons
suatu persoalan dengan menggunakan waktu yang cukup dan cara yang lebih
hati-hati.
Selain gaya kognitif yang dapat mempengaruhi dalam pemrosesan
informasi, kemampuan memori juga merupakan salah satu elemen penting dalam
pemrosesan informasi. Memori adalah merujuk pada proses mengigat informasi. Memori
atau ingatan adalah proses penyimpanan informasi dan dapat dipanggil kembali
ketika dibutuhkan (Cardoso, 1997).[10]
a.
Memori
jangka pendek
Merupakan
kemampuan untuk mengingat informasi yang lebih relatif pada jangka waktu yang
pendek. Dalam memori jangka pendek seseorang mampu mempertahankan informasi
selama 30 detik selama tidak ada pengulangan terhadap informasi itu. Memori
jangka pendek dapat diukur dengan menyuruh anak mengamati objek-objek visual
atau audio dalam waktu yang singkat, misalnya 20 detik. Dan anak diminta untuk
mengingat kembali objek yang dilihat atau didengarnya dengan urutan yang benar.
Banyak anak
berkesulitan belajar yang mengalami kesulitan dalam ingatan visual pada memori
jangka pendek (Hallahan, Kauffman, & Ball, 1973; Tayer, Hallahan, Kauffman,
& Ball, 1976). Dan fakta membuktikan bahwa anak berkesulitan belajar kemampuannya
dalam memori jangka pendek auditori lebih rendah dari mereka yang tergolong
tidak berkesulitan belajar(Humle & Snowling, 1992).
b.
Memori
kerja
Beberapa bukti
bahwa memori kerja lebih penting dari masalah memori jangka pendek dalam
kesulitan membaca dari murid yang berkesulitan belajar. Memori kerja merujuk
pada kemampuan seseorang untuk menjaga informasi dalam jumlah yang sedikit
dalam pikiran. Sambil memahami informasi tersebut dan membayangkan informasi
tersebut untuk bisa menuju operasi yang lebih jauh.
Contoh
sehari-hari dari memori kerja tersebut untuk mengingat alamat rumah seseorang
dalam pikiran. Sambil mendengarkan instruksi untuk mencapai alamat rumah
tersebut. Atau juga dalam mendengarkan untuk menghafal runtutan peristiwa atau
suatu kejadian dalam sebuah cerita dan mencoba untuk mengerti arti dari cerita
tersebut. Dalam hal tersebut digambarkan bahwa memori kerja berbeda dengan
memori jangka pendek.
Dalam studi ini,
anak-anak dan dewasa yang berkesulitan belajar dan anak-anak dan dewasa yang
normal dibandingkan dalam beberapa tipe dari tugas memori kerja dan memori
pendek. Dalam salah satu tugas memori kerja contohnya seseorang diberikan
sebuah barisan kata-kata. Lalu ditanyakan kembali adakah kata tersebut dalam
barisan kata-kata yang diberikan. Dan dipinta untuk mengingat kembali kata-kata
tersebut dalam urutan yang benar.
Hasilnya
menyatakan bahwa untuk seseorang yang berkesulitan belajar, memori kerjanya tersebut
sangat penting untuk memprediksikan bacaan dan kemampuan matematika. Dengan
kata lain seseorang yang berkesulitan belajar yang memiliki kemampuan yang baik
dalam memori jangka pendek dan memori kerja. Akan menampakkan kemampuan yang
baik pula pada kemampuan membaca dan kemampuan matematika.
Ada dua strategi yang digunakan untuk mengembangkan
perkembangan kognitif. Kedua strategi tersebut biasa digunakan oleh anak yang
tidak berkesulitan belajar. Strategi tersebut adalah pengulangan dan pengorganisasian.
Seorang anak akan mudah terbantu dalam mengingat sekelompok kata jika kata-kata
tersebut diulang-ulang. Dan memorinya akan lebih terbantu lagi jika anak mampu
mengorganisasikan kata-kata tersebut menjadi beberapa kelompok.
Anak berkesulitan belajar cenderung tidak
menggunakan strategi mengulang atau menghafal dan mengorganisasikan materi yang
harus diingat. Meskipun mereka dapat dilatih untuk hal tersebut, agar strategi
ini menjadi kebiasaan dalam mengingat suatu materi yang dipelajari.
Dapat disimpulkan bahwa anak yang berkesulitan
belajar memiliki beberapa hal yang ditandai dalam perkembangan kognitifnya. Anak
kesulitan belajar memiliki gaya kognitif yang terikat atau ketergantungan pada
lingkungan serta memiliki gaya kognitif yang impulsif. Artinya anak yang
bertipe kognitif terikat pada lingkungan mudah terkocoh oleh informasi yang
menyesatkan sehingga persepsinya tidak akurat. Dan anak kesulitan belajar
memiki kemampuan kognitif yang lebih rendah dari anak yang normal. Sehingga
memori jangka pendek dan memori kerjanya mempengaruhi kemampuannya dalam memprediksikan
membaca dan matematika.
Untuk menanggulangi hal tersebut diperlukan latihan
yang intensif dengan guru yang tepat. Seperti latihan untuk memusatkan
perhatian pada data perseptual esensial dan menghindari diri dari pengaruh data
yang mengecoh, latihan merespons suatu persoalan dengan menggunakan waktu yang
cukup dan cara yang hati-hati. Serta latihan mengulang dan mengorganisasikan
untuk perkembangan kognitif anak kesulitan belajar.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Mulyono. (2012). Anak Bekesulitan
Balajar Teori ,Diagnosis, Dan Remediasinya. Jakarta: Rineka Cipta.
Hallhan, D.F., : Kauffman, J.M. ; & Lloyd, J.W., (1985 ) Introduction
to Learning Disabilitis, New Jersey : Prentice-Hall Inc.
Santrock, John W. (2012). Life-Span Developments Perkembangan Masa-Hidup. Jakarta: Erlangga.
[1] Prof.Dr.Mulyono Abdurrahman,
Anak
Berkesulitan Belajar Teori, Diagnosis, dan Remediasinya, (Jakarta:
Rineka Cipta,
2012), 131.
[3] Prof.Dr.Mulyono Abdurrahman,
Anak
Berkesulitan Belajar Teori, Diagnosis, dan Remediasinya, (Jakarta:
Rineka Cipta,
2012),
133.
[4] Ibid. 134.
[5] Ibid.
[6] Ibid.
[7] Ibid. 135.
[8] Prof.Dr.Mulyono Abdurrahman,
Anak
Berkesulitan Belajar Teori, Diagnosis, dan Remediasinya, (Jakarta:
Rineka Cipta,
2012),
135.
[9] Ibid.
[10] Martini Jamaris,
Kesulitan
Belajar Perpektif, Asesmen, Dan Penanggulangannya, (Jakarta:
Yayasan Penamas
Murni, 2009),
108.