Pertama-tama perlu dipertegas, bahwa anak berkebutuhan khusus merupakan fenomena nyata, dan sudah menjadi bagian tersendiri dalam kosmos atau lingkup hidup manusia. Dengan memahami yang demikian, maka eksistensi alias keberadaan anak berkebutuhan khusus menjadi terakui, sama statusnya dengan eksistensi manusia-manusia lain, yang dianggap normal, dan tidak memerlukan kebutuhan khusus. Akan tetapi, bukan kehidupan namanya kalau ia tidak disertai dengan problema. Dalam hal anak berkebutuhan khusus juga memiliki segudang permasalahan, seperti bagaimana mendidik mereka, membiasakan mereka untuk mampu hidup di dunia mayoritas yang normal, dan seterusnya.
Akan tetapi, permasalahan marginalisasi dan diskriminasi sudah barang tentu yang menjadi perhatian utama. Mengapa? Hal ini karena, segala problema yang muncul di sekitar anak berkebutuhan khusus seperti bagaimana mendidik mereka, dan untuk apa mereka diproyeksikan di masa depan, semua itu hanya masalah turunan dari kenyataan bahwa anak berkebutuhan khusus adalah fenomena diferensiasi, alias perbedaan yang muncul begitu saja dalam masyarakat. Sementara itu, kecenderungan manusia adalah sulit menerima sesuatu yang tampak berbeda dari dirinya. Maka persoalan marginalisasi alias pengucilan, dan diskriminasi alias pembedaan (bedakan dengan perbedaan), menjadi masalah utama.
Setelah itu, lalu apa? Manusia sebagai elemen utama pembangun masyarakat sedari dini mesti menyadari bahwa sikap marginalisasi dan diskriminasi atas perbedaan bukanlah hal yang tepat dan wajar. Terlebih di era kita yang modern ini, yang sulit menerima tindakan-tindakan semacam itu untuk menghadapi bahkan menghilangkan perbedaan. Masyarakat kita menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan hak asasi manusia, sehingga melakukan pengucilan dan pembedaan yang berujung pada pencabutan hak-hak individu, termasuk individu berkebutuhan khusus, selayaknya ditolak.
Ada istilah khusus untuk menamai sekolah bagi anak berkebutuhan khusus, selain sekolah luar biasa (SLB), adalah sekolah inklusi. Entah bagaimana awal mulanya, sehingga nama inklusi dipilih. Namun bukan rahasia lagi bahwa tentu ia berkaitan dengan sikap inklusif.
Apakah itu inklusif? Jika kita mencari derivasi kata inklusif dalam bahasa Arab, maka kita akan bertemu dengan kata al-maftuhiyyah yang bermakna keterbukaan. Dan negasi daripada inklusif, yakni eksklusif, memiliki padanan Arabnya sebagai al-mughallaqiyyah yang bermakna ketertutupan. Darinya kita bisa memahami bahwa sikap inklusif adalah sikap di mana individu ataupun masyarakat memilih sikap keterbukaan. Keterbukaan terhadap apa? Tentu saja keterbukaan terhadap perbedaan yang ada, yang sudah menjadi hukum alam. Sebagai konsekuensi daripada keterbukaan adalah sikap mau menerima eksistensi The other, dan mau bergaul dengannya. Tak heran jika kemudian nama inklusi dipilih untuk mengidentifikasi sekolah bagi anak-anak berkebutuhan khusus. Karena dengan nama demikian, maka paradigma pendidikan, lembaga dan tenaga kependidikan yang terlibat, menyiapkan dan mengikrarkan dirinya untuk menerima, dan mau membantu anak-anak yang berbeda itu.
Menghidupkan Inklusivisme
Tentu saja untuk mencapai kesadaran akan pentingnya sikap inklusif, jika kita menengok track record kehidupan manusia dalam bermasyarakat, bukan hal yang mudah dan begitu saja muncul. Nampaknya manusia hidup lebih banyak dalam gelimang konflik yang diawali dengan sikap eksklusif, marginalisasi dan diskriminasi. Namun di tengah-tengah kompetisi tersebut, tak bisa dipungkiri bahwa inklusivisme selalu menjadi harapan terakhir, karena dengannya manusia benar-benar dipandang sebagai manusia.
Jika demikian halnya, maka sejatinya benih-benih kemunculan sikap inklusif sudah tertanam dalam diri alamiah manusia. Agama menyebutnya sebagai fitrah, yang tertanam dalam tatanan akal dan qalbu. Manusia, dalam salah satu ucapan suci Nabi Muhammad Saw, dikatakan cenderung kepada ke-hanif-an, yakni cenderung kepada nilai-nilai kebaikan yang universal. Oleh karena itu tidak heran dalam teori sosiologi, manusia yang benar – homo sosiologos – adalah mereka yang memiliki jiwa simpati dan empati dalam dirinya. Yakni keadaan jiwa yang mudah tertarik dan peduli pada kepentingan dan keselamatan (baca: kebahagiaan) orang sekitarnya. Inilah benih-benih inklusivisme.
Untuk mewujudkan inklusivisme itu, maka akan ada banyak pilihan jalur yang bisa digunakan manusia. Entah itu pendidikan, ekonomi, sosial bahkan politik. Namun tentu dunia pendidikan memegang obor paling awal, karena merekalah yang akan menghadapi dan bertanggung jawab pada jiwa-jiwa manusia sedari dini. Maka mulai mencanangkan pendidikan dengan goal karakter yang inklusif telah dan akan selalu menjadi agenda utama kita.
Di luar itu, masyarakat sebenarnya memiliki pamong untuk menjaga keharmonisannya, yang ditandai dengan mengikisnya eksklusivisme dan diskriminasi. Pamong itu adalah agama dan budaya (local wisdom). Agama dan budaya sebagai pembangun rangka pikir dan paradigma individu yang paling handal, tentu seharusnya dimanfaatkan untuk kepentingan menumbuhkan inklusivisme ini, selain karena sebenarnya demikian itulah tugas dari keberadaan agama dan budaya. Agama bermakna nihilisasi atas keburukan, sementara budaya bermakna pandangan, sikap, dan aksi penuh keadaban. Maka sudah barang tentu, inklusivisme berada di dalamnya.